Abstract

Pembaruan undang-undang perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah mengubah batas usia minimal perkawinan dari usia 16 (enam belas) Tahun bagi perempuan menjadi 19 (Sembilan belas) Tahun bagi perempuan ataupun laki-laki. Perubahan ketentuan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan dini yang dinilai memiki dampak buruk bagi Kesehatan juga berpotensi memicu kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia, Namun ketentuan tersebut tidak bersifat mutlak adanya karena undang-undang tersebut masih memberikan kesempatan untuk diajukannya dispensasi nikah melalui Pengadilan Agama. Pengadilan Agama Bangkalan pernah melakukan pemeriksaan perkara permohonan dispensasi kawin dengan nomor perkara 354/Pdt.P/2022/PA Bangkalan , dan pada tanggal 22 juni 2022 majelis Hakim pemeriksa mengabulkan permohonan tersebut dengan dasar pertimbangan pemohon (calon suami) dan termohon (calon isteri) telah berpacaran lama sehingga kondisi tersebut dianggap sebagai alasan mendesak untuk segera dilaksanakan perkawinan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti perzinahan. jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian theoretical reseach,[1]dengan Pendekatan conseptual dan case approach. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pengabulan permohonan dispensasi kawin dengan pertimbangan telah berpacaran lama oleh majelis hakim PA. Bangkalan, telah sesuai dengan prinsip dan kaedah hukum Islam karena mensegerakan perkawinan yang memiliki potensi terjadinya perzinahan dianggap kebutuhan (al hajah) yang berada pada posisi mendesak atau genting (darurat) sehingga wajib didahulukan daripada menunda perkawinan karena batasan usia yg belum terpenuhi secara undang-undang.

Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call