This study elaborates on the background of why the Quran uses economic jargons in conveying its meanings (maqâshid).The study was driven by the fact that the Quran is intended for all human beings with various social strata and professions, gender, age level, race, language, and so on; not just for business people. Another fact shows that the Quran in a not too long period of time has received significant acceptance from the wider community and gradually from the world community until now. This raises the suspicion that the jargons used by the Quran are indeed relevant to the culture of society when the Quran was revealed and even to human nature as homo economicus.This study uses a linguistic approach combined with a socio-cultural context (at-adab al-ijtima’i), and content analysis of relevant references, especially books of interpretation (kutub at-tafsîr).The results of the study reveal that the community when the Quran was revealed, namely the Quraysh, was a business community which of course had its own lingua franca. In conveying its meanings, the Quran uses, among other things, economic jargons such as tijârah (commerce), rabiha (profit), and khasira (loss). This use is certainly relevant to the socio-cultural context of the community and brings them closer to understanding the Quran. It also reveals that from an educational point of view, the Quran has its own method of conveying its teachings, which is called the Quranic method (al-uslûb al-Qur’ani). Studi ini mengelaborasi latar belakang mengapa Alquran menggunakan jargon-jargon ekonomi di dalam menyampaikan maksud-maksudnya (maqâshid). Studi tersebut didorong oleh kenyataan bahwa Alquran diperuntukkan bagi semua umat manusia dengan berbagai strata sosial dan profesinya, jenis kelamin, tingkatan usia, ras, bahasa, dan sebagainya; bukan untuk kalangan pelaku bisnis saja. Kenyataan lain menunjukkan bahwa Alquran dalam kurun waktu tidak terlalu lama telah mendapat penerimaan yang signifikan dari masyarakat luas dan secara berangsur dari masyarakat dunia sampai sekarang.Hal itu memunculkan dugaan bahwa jargon-jargon yang digunakan oleh Alquran memang relevan dengan kultur masyarakat ketika Alquran itu diturunkan dan bahkan dengan tabiat manusia sebagai homo economicus.Kajian ini menggunakan pendekatan kebahasaan dipadu dengan konteks sosio-kultural (al-adab al-ijtima’i), dan content analysis terhadap referensi yang relevan, terutama kitab-kitab tafsir. Hasil kajian mengungkapkan bahwa masyarakat ketika Alquran diturunkan, yaitu kaum Quraisy, adalah masyarakat bisnis yang tentunya memiliki lingua franca sendiri. Di dalam menyampaikan maksud-maksudnya, Alquran antara lain menggunakanan jargon-jargon ekonomi seperti tijârah (perniagaan), rabiha (untung), dan khasira (rugi). Penggunaan tersebut tentunya relevan dengan konteks socio-kultural masyarakat dan mendekatkan mereka kepada pemahaman Alquran. Hal itu sekaligus mengungkap bahwa dari sudut pandang kependidikan, Alquran mempunyai metode tersendiri di dalam menyampaikan ajarannya, yang disebut dengan metode Qurani (al-uslûb al-Qur’ani).
Read full abstract