Abstract This article analyzes the east Javanese male-style masked dance Gunung Sari, a dance that has captivated me for the feminine qualities and ways of moving that performers in the east Javanese regency of Malang identified. I argue that by performing and talking about Gunung Sari, the character portrayed (also named Gunung Sari), and Gunung Sari dancers, artists have maintained cultural space for a particular sense of masculinity, one imbued with femininity, that they situated in local east Javanese culture, in effect producing an alternative to dominant national Indonesian models that separated maleness from femaleness. I draw on my experiences studying and performing Gunung Sari, conversations with my teachers, and observations of performances from 2005 to 2007 and subsequent visits to explore negotiations of gender through dancers’ offstage character and lifestyle, the story cycle from which the dance is drawn, accompanying gamelan music, dance movement, and mask iconography. Artikel ini menganalisa Tari Gunung Sari yang merupakan salah satu tari topeng gaya pria Jawa Timur. Bagi penulis, keistimewaan Gunung Sari terletak pada kualitas dan gerak-gerik feminim yang ditunjukkan oleh para seniman di Kabupaten Malang. Penulis hendak memperlihatkan bahwa dengan menarikan dan berbicara tentang Gunung Sari, tokoh yang diperankan (juga bernama Gunung Sari), dan penari Gunung Sari, para seniman telah memelihara suatu ruang kebudayaan untuk pengertian kejantanan tertentu, yaitu kejantanan yang diilhami oleh kewanitaan serta memperlihatkan bahwa kejantanan tertentu tersebut berada di dalam budaya lokal Jawa Timur. Menurut penulis, para seniman tersebut menciptakan contoh kejantanan sebagai alternatif untuk contoh-contoh nasional Indonesia dominan yang memisahkan kejantanan dari kewanitaan. Penulis memanfaatkan pengalamannya mempelajari dan menampilkan Gunung Sari, percakapan dengan guru-gurunya, dan pengamatan pertunjukan dari tahun 2005-2007 serta kunjungan-kunjungan berikutnya untuk mengkaji negosiasi gender melalui karakter dan gaya hidup para penari di luar panggung, siklus cerita yang menjadi asal Gunung Sari, iringan gamelan, gerak tari, dan ikonografi topeng.
Read full abstract