Abstract

Artikel ini bertujuan mengungkap pengalaman diskriminatif yang dialami pemuda Syiah di lembaga pendidikan dan strategi mereka mengonstruksi identitasnya, baik di kelas pendidikan agama Islam maupun di ruang publik lembaga pendidikan. Artikel ini merupakan hasil penelitian dengan metode kualitatif-deskriptif terhadap 5 orang pemuda Syiah di Jember yang direkrut dengan chain-referral sampling method. Data yang dikumpulkan dengan life-story interview dianalisis dengan teknik interaktif Miles, dkk. Artikel ini menemukan bahwa pertama pemuda Syiah mengalami pengalaman diskriminatif karena diwajibkan guru Pendidikan Agama Islam melafalkan doa salat seperti qunut meski dirinya telah mengaku sebagai pengikut Muhammadiyah. Kedua pemuda Syiah melakukan mimikri sebagai pengikut Muhammadiyah dengan tujuan terhindar dari praktik salat ala Nahdlatul Ulama yang dilakukan guru Pendidikan Agama Islam. Ketiga, pemuda Syiah umumnya tak berani membuka identitasnya sebagai pengikut Syiah. Seorang pemuda Syiah mengaku sebagai pengikut muslim tradisionalis atau pengikut Islam untuk menghindari diskriminasi dari temannya. Keempat, pemuda Syiah melakukan penyamaran salat ala Sunny sambil diam-diam melakukan gerakan salat Syiah untuk memperjuangkan hak beribadahnya. Mimikri yang dilakukan pemuda minoritas Syiah mengkonfirmasi gambaran mimikri Homi K. Bhabha karena para pemuda Syiah menggunakan ruang identitas Sunny meski diam-diam tetap berusaha mempertahankan identitas primordialnya sebagai Syiah, sehingga pemuda minoritas Syiah menggunakan identitas yang hampir sama dengan Sunny, “namun tidak sepenuhnya sama”.

Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call