Abstract
Abstrak Pantun adalah puisi lisan Melayu ciptaan peribumi yang ada di Nusantara. Penggunaan pantun dalam semua bentuk komunikasi lisan adalah sebahagian daripada etos budaya lisan. Pilihan kata yang tepat akan memberikan makna yang hebat. Oleh sebab pantun adalah hasil komunikasi bersemuka, maka pantun yang dilontarkan harus bijaksana, halus dan berkias. Dalam kespontanan inilah kecekapan dalam memilih perkataan yang tepat sangat dituntut agar kelangsungan pembicara tidak dianggap biadab, bebal atau mengguris perasaan si penerima. Menerusi pantun, sindiran, kritikan dan teguran disuguhkan secara halus tersirat namun dapat dimengertikan dalam konteks sesuatu situasi. Artikel ini cuba melihat pantun sebagai hasil kreativiti seni berbahasa yang lahir daripada budaya kelisanan. Ia turut meneliti bagaimana pilihan kata dan makna yang terbentuk daripadanya mempengaruhi bentuk, struktur dan pemikiran pantun. Melalui penggunaan data-data pantun tradisional, koleksi pantun yang dianggap paling hampir dengan situasi masyarakat pratulisan dan pramoden dipilih sebagai korpus analisis. Contohnya, pantun dari teks-teks lisan (Brunei) selain daripada koleksi penutur-penutur sastera lisan seperti Himpunan Pantun Karya Agung Pantun Melayu Bingkisan Permata (2001), Koleksi Hamilton (1959), Koleksi Pantun Melayu oleh Wilkinson dan Winstedt (1961). Data dianalisis secara tekstual dengan berpedomankan etnolinguistik sebagai satu kaedah memahami makna menerusi budaya penutur. Dapatan memperlihatkan betapa pemilihan kata dalam pantun yang dihasilkan jelas mempersatukan antara ritma dan makna bagi menjadikan pantun memiliki nilai yang hebat. Abstract Pantun is an oral Malay poem created by the indigenous people in the Nusantara. Its usage in oral communication forms part of the oral culture ethos. A carefully chosen word can carry a profound meaning. Pantun requires wisdom, refinement, and allegory because they occur in face-to-face communication. The spontaneity of uttering and replying to a pantun requires speakers to rapidly choose suitable words to avoid being rude, foolish or hurtful. Pantun allows for sarcasm, criticism, and warnings to be couched, yet the meaning is understandable given the context of a situation. This paper will explore pantun as a creative linguistic art born from oral culture. It will look at how the choice of words and their resultant meanings influence the form, structure and thoughts in pantun. The pantun used in this analysis is a collection of traditional pantuns closest to the pantuns during pre-lettered and pre-modern societies, as an example, pantun from the Bruneian oral tradition and such as Himpunan Pantun Karya Agung Pantun Melayu Bingkisan Pertama (2001), Hamilton Collection (1959), and The Malay Pantuns collected by Wilkinson and Wistedt (1961). Data was analysed using ethno-linguistics to understand the meaning of the speaker's culture. Findings show how the choices of words in pantun produced a unites rhythm and meaning to give value to pantun.
Published Version
Talk to us
Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have
Similar Papers
More From: MANU Jurnal Pusat Penataran Ilmu dan Bahasa (PPIB)
Disclaimer: All third-party content on this website/platform is and will remain the property of their respective owners and is provided on "as is" basis without any warranties, express or implied. Use of third-party content does not indicate any affiliation, sponsorship with or endorsement by them. Any references to third-party content is to identify the corresponding services and shall be considered fair use under The CopyrightLaw.