Abstract
Some Western scholars argue that the Qur’an is a historical text that reflects Muḥammad’s reflection on the socio-cultural dynamics of seventh-century Arab society. In the hands of several modern Muslim scholars, the assumption of the historicity of the Qur’an is used as a basis for contextual reinterpretation, although in general they still acknowledge its divinity. This paper intends to conceptualize the phenomenon of Qur’anic revelation through an analysis of the chronology of its revelation as explained in sīrah nabawiyyah. Through this analysis, it can be concluded that the process of Qur’anic revelation was external, did not originate from the Prophet Muhammad’s idea. Its revelation is a transcendent process as well as the concept of revelation understood in every religious tradition, even though it is intended for human benefit. The assumption of the historicity of Qur’anic revelation does not get strong support from sīrah’s data.
Highlights
Abstrak Beberapa sarjana Barat berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan teks historis yang mencerminkan refleksi Muhammad terhadap dinamika sosiokultural masyarakat Arab abad ketujuh
Its revelation is a transcendent process as well as the concept of revelation understood in every religious tradition, even though it is intended for human benefit
Di tambah dengan data sejarah lainnya, kronologi pewahyuan ini menunjukkan bahwa wahyu Al-Qur’an bukan bersumber dari hasil refleksi dari dalam diri Nabi, tidak pula mencerminkan cita-cita Bangsa Arab abad ke-7, namun bersumber dari Tuhan semesta alam, sehingga akhirnya membawa kemaslahatan universal
Summary
Transendensi wahyu Al-Qur’an yang merupakan common-sense pada hampir semua kalangan Islam mendapat serangan dari mayoritas orientaslis. Dengan berbagai motif yang berbeda, umumnya mereka berpandangan, proses kenabian Muhammad secara umum, dan proses pewahyuan secara khusus, merupakan fenomena historis yang bisa dilacak asal-usulnya dalam konteks sosio-kultural masyarakat Arab pada abad ke tujuh. Komposisi Al-Qur’an dalam pandangan banyak orientalis, dengan tak lebih merupakan kitab elektik, yang disusun dari berbagai sumber. Kenneth Cragg menjelaskan, jika pengarang murni dari teks Al-Qur’an adalah Tuhan, dan elemen manusia dihilangkan dalam proses pembentukannya, maka argumen apa pun yang dijadikan landasan untuk upaya reinterpretasi Al-Qur’an sangat sulit dicapai.[16] Hal ini karena jika wahyu AlQur’an bersifat metahistoris, maka muatan maknanya absolut dan eternal, sehingga tidak menerima kemungkinan pemahaman lain. Dalam konteks wahyu Al-Qur’an, berbagai analisis ilmiah digunakan untuk membuktikan profanitas prosesnya, sehingga pada gilirannya mempostulasikan relativitas, lokalitas, dan ‘kepalsuan’ ajaran Islam secara keseluruhan
Talk to us
Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have
Disclaimer: All third-party content on this website/platform is and will remain the property of their respective owners and is provided on "as is" basis without any warranties, express or implied. Use of third-party content does not indicate any affiliation, sponsorship with or endorsement by them. Any references to third-party content is to identify the corresponding services and shall be considered fair use under The CopyrightLaw.