Abstract

Eksistensi hukum pidana adat Indonesia dikaji dari perspektif normatif (ius constitutum) diatur Pasal 18 B UUD 1945 hasil Amandemen, Pasal 1, Pasal 5 ayat (3) sub b UU Nomor 1 Drt tahun 1951, Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009. Kemudian secara parsial dalam daerah tertentu seperti Aceh Nangroe Darussalam diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 1999, UU Nomor 11 Tahun 2006, berikutnya diimplementasikan dalam bentuk Qanun baik tingkat Propinsi dan Kabupaten. Di Papua, diatur dalam Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001. Kemudian diatur dalam Pasal 7, 8 RUU Perlindungan Masyarakat Adat Tahun 2009 yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah dan Pasal 18 ayat (1) RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat yang disiapkan DPR tahun 2012. Berikutnya di Bali diatur dan diimplementasikan dalam bentuk Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) serta dari perspektif ius constituendum diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1), (2) RUU KUHP Tahun 2012. Kemudian tataran asas diatur Kitab Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya, Kitab Kuntara Raja Niti, Kitab Lontara ‘ade’ dan awig-awig. Selain itu, dikaji dari perspektif teori, praktik dan prosedurnya ditemukan dalam bentuk Yurispudensi Mahkamah Agung RI seperti Nomor 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 serta penjatuhan sanksi adat (obat adat) hakikatnya bersifat untuk pemulihan keseimbangan alam magis, pemulihan alam kosmos guna mengembalikan pada keseimbangan yang terganggu agar bersifat religio magis kembali.
 Kata Kunci: hukum pidana adat, sanksi, praktek.

Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call