Abstract

Hak untuk mendapatkan akses internet secara bebas menjadi diskursus dewasa ini. Dalam penelitian Cerf (2012) menyebutkan bahwa internet dianggap sebagai penunjang yang memungkinkan dalam mewujudkan hak asasi ( tetapi bukan hak asasi itu sendiri) dalam tulisannya Cerf juga menyebutkan bahwa akses internet merupakan hak sipil atau hak warga yang seharusnya sudah disediakan dan dijamin oleh pemerintah stempat. Jadi, pada intinya pemerintah berkewajiban untuk memperluas penyediaan akses internet hingga dapat dijangkau di seluruh pelosok daerah, termasuk memperkaya literasi digital khususnya bagi kelompok yang selama ini belum menjadi prioritas. Hal inilah yang menjadi prinsip utama dalam inklusif dalam memerangi kesenajangan digital.
 Penelitian menyebutkan bahwa di Indonesia pemanfaatan ekonomi digital masih belum optimal, hal ini salah satunya disebabkan oleh kualitas keterampilan digital masyarakat yang masih rendah. Hal ini juga ditandai dengan pencapaian angka indikator aktivitas ekonomi internet, atau yang biasa disebut Gross merchandise Volume (GMV) Indonesia relative kecil bila dibandingkan dengan negara asean lainnya. Walaupun industry ekonomi digital di Indonesia sudah cukup berkembang, tetapi masih banyak masyarakat Indonesia yang belum terlibat dan berkontribusi dalam ekosistem ekonomi digital di Indonesia (The Conversation, 2022).
 Ketimpangan akses digital juga dirasakan di negara lain di kawasan Asia Tenggara, bahwa kurang dari 70 persen rumah tangga di Kamboja, Vietnam, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Thailand, menggunakan internet walaupun rata-rata cakupan internet LTE di negara-negara tersebut sudah mencapai 90 persen. ( the conversation, 2023). Adanya kesenjangan terhadap akses digital ini tidak sesuai dengan tujuan Masyarakat Ekonomi Asean dalam mewujudkan perekonomian yang terintegrasi, terkoneksi, berdaya saing dan inovatif.

Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call