Pemberian lahan ”Tanah Karang Memadu” bagi mereka yang melakukan perkawinan poligami di Desa Adat Pengelipuran, Bangli adalah bentuk sanksi adat dari kearifan lokal setempat yang wajib dilestarikan. Sanksi adat ini telah terbukti mampu mencegah niat masyarakat untuk melakukan poligami. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, ditegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Jadi asas yang dianut adalah asas monogami. Namun demikian tidak sedikit masyarakat karena alasan tertentu melakukan perkawinan poligami atau mempunyai lebih dari satu orang istri. Secara normatif, masyarakat adat Desa Penglipuran memandang berpoligami itu sebagai pelanggaran norma adat. Karena itulah bagi mereka yang berani melakukan poligami dikenakan sanksi keluar dari pekarangan desa, lalu diberikan tempat yang disebut sebagai “Karang Mamadu”. Penelitian ini menjawab permasalahan, bagaimanakah pelaksanaan sanksi adat Karang Memadu di Desa Penglipuran, dan apakah sanksi adat Karang Memadu terlaksana dengan efektif di Desa Adat Penglipuran. Jenis penelitian yang akan dipergunakan dalam jenis penelitian hukum emperis. Temuan hasil penelitian membrikan penegasan bahwa pemberian ”Karang Memadu” adalah salah satu bentuk sanksi adat yang mempunyai implikasi hukum sangat singinifian dalam rangka mencegah terjadinya perkawinan poligami atau “memadu”. Indikasinya adalah, sampai penelitian ini selesai dilakukan sama sekali “karang memadu” yang dimaksud belum pernah dimanfaatkan oleh mereka yang melakukan perkawinan poligami. Saran yang dapat direkomenasikan adalah, sanksi pemberian”Karang Memadu” ini agar dilestarikan untuk menjamin keteraturan sosial.
Read full abstract