Abstract

Kota Malang sebagai kota pelajar menarik berbagai pelajar dari berbagai daerah di Indonesia untuk melanjutkan pendidikan tinggi di kota tersebut. Tercatat 62 perguruan tinggi berdiri di kota tersebut. Daya tampung perguruan tinggi yang besar dan pembangunan kota yang diupayakan oleh Pemerintah Kota semakin meningkatkan daya tarik kota ini. Letak kota yang berada pada subkebudayaan arek yang inklusif dan toleran, serta sudah sejak lama menampung warga dari berbagai daerah di Indonesia, seharusnya memiliki korelasi positif bagi iklim mahasiswa pendatang. Namun pada kenyataannya, justru timbul berbagai gesekan sosial antara mahasiswa pendatang dengan warga lokal. Mahasiswa pendatang yang sering terlibat konflik adalah mahasiswa pendatang yang berasal dari Indonesia Timur. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis strategi adaptasi budaya bagi komunitas mahasiswa Sumba di Kota Malang sebagai upaya pencegahan konflik di kalangan mahasiswa. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan fakta bahwa terdapat kegagalan mahasiswa pendatang dan warga lokal untuk membaur dalam latar kebudayaan Kota Malang yang heterogen. Mahasiswa Sumba hidup dengan norma-norma sebagaimana mereka hidup di daerah asalnya, sedangkan warga lokal terjebak pada stigma bahwa mahasiswa Sumba membawa efek negatif bagi lingkungan. Prasangka kultural tersebut harus ditanggulangi agar tidak terjadi konflik yang lebih besar di Kota Malang. Artikel ini merekomendasikan agar bagi mahasiswa pendatang diberikan orientasi terkait kebudayaan setempat untuk meminimalisir stres akulturatif yang dialami mahasiswa dan konflik yang akan terjadi

Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call