Abstract

This article analyzes the renewal of Indonesia’s minimum age of marriage law. Previously, the legal age for men was 19 years, and for women was 16 years. However, Law No. 16 of 2019 amended the law, setting the minimum age of marriage at 19 years for both genders. Notably, this increase for women contradicts certain fiqh texts and is the highest age limit among several Muslim countries. This study employs Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s bayānī (indication/explication) and burhānī (demonstration/proof) epistemology to examine the subject. This article identifies the ideal age range for marriage as 19 to 25 years, when individuals reach balig (maturity) and rusydan (legal capacity), demonstrating readiness and mental maturity for marital life. The renewal of Indonesia’s marriage age limit aligns with Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s epistemology, which integrates naṣ (Al-Qur’an and hadīth ) with rational reasoning and empirical evidence. Abstrak: Artikel ini menganalisis pembaruan ketentuan batas usia perkawinan di Indonesia. Sebelumnya, batasan usia perkawinan bagi laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Setelah diubah melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, ketentuan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu 19 tahun. Peningkatan batas usia perkawinan bagi perempuan di Indonesia ini menarik untuk dikaji dan dianalisis, karena bertentangan dengan sejumlah teks fikih dan sekaligus paling tinggi di antara beberapa negara muslim lainnya. Artikel ini merupakan hasil penelitian kepustakaan yang dianalisis menggunakan epistemologi bayānī dan burhānī Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī. Artikel ini menemukan bahwa kriteria ideal batas minimal usia perkawinan berada pada rentang usia 19 sampai dengan 25 tahun. Pada rentang usia tersebut, pasangan calon pengantin telah memasuki masa baligh dan sekaligus cakap hukum ( rusydan ) sehingga mereka telah memiliki kesiapan dan kematangan mental untuk melangsungkan perkawinan dan menjalani kehidupan rumah tangga. Pembaruan batas usia perkawinan di Indonesia tersebut sesuai dengan epistemologi bayānī dan burhānī Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī karena ketentuan tersebut tetap mengacu pada naṣ (Al-Qur’an dan hadis) yang dilengkapi dengan penalaran rasional dan bukti-bukti empiris. Keywords : Minimum age of marriage; bayānī; burhānī; marriage law; Mu ḥ ammad ‘Ābid al-Jābirī

Full Text
Paper version not known

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call

Disclaimer: All third-party content on this website/platform is and will remain the property of their respective owners and is provided on "as is" basis without any warranties, express or implied. Use of third-party content does not indicate any affiliation, sponsorship with or endorsement by them. Any references to third-party content is to identify the corresponding services and shall be considered fair use under The CopyrightLaw.