Abstract

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimungkinkan terselenggara dengan calon tunggal. Kewenangan memutus permohonan perselisihan hasil Pilkada diemban oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang mana salah satu syarat formil permohonan adalah mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Penelitian ini bertujuan untuk memotret keterkaitan antara penyelenggaraan Pilkada calon tunggal dengan kualitas demokrasi di Indonesia sekaligus menganalisis kekuatan legal standing Pemantau Pemilihan sebagai Pemohon perselisihan hasil Pilkada. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual untuk meneliti bahan-bahan hukum dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa meningkatnya jumlah penyelenggaraan Pilkada calon tunggal menandakan turunnya kualitas demokrasi. Kemudian berdasarkan Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020, Pemantau Pemilihan memiliki legal standing untuk menjadi Pemohon dalam permohonan perselisihan hasil Pilkada calon tunggal, sedangkan dalam Undang-Undang MK tidak mengatur demikian. Hal ini menyebabkan lemahnya kekuatan legal standing Pemantau Pemilihan sebagai Pemohon perselisihan hasil Pilkada calon tunggal sebab secara hierarkis kedudukan UU lebih tinggi dari Peraturan MK. Oleh karenanya perlu dilakukan revisi terhadap UU MK guna memasukkan Pemantau Pemilihan sebagai pemohon perkara perselisihan hasil Pilkada.

Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call