Abstract

This article examines the answer of Abdul Ilāh Ḥūri to the accusation of ideologization in tafsīr ayāt aḥkām (Qur’anic exegesis on the legal verses) through his work Asbāb Ikhtilāf al-Mufassirīn fī Tafsīr Ᾱyāt al-Aḥkām. The tendency to ideologize these schools of tafsīr can be understood not only because of the writer's background as a demonstrative school activist, but other factors are also very influential on the resulting tafsīr ayāt aḥkām products, such as: differences in using the rules of al-'ibrah bi 'umūm al-lafẓi lā bi khuṣūṣ al-sabab or vice versa, differences in choosing qirā'at, differences in interpreting siyāq (context) or in his term that is called mā fī al-Qur'ān and mā ḥaula al-Qur'ān. Keywords: Qur’anic exegesis on the legal verses, school ideology, mā fī al-Qur'ān, and mā ḥaula al-Qur'ān.

Highlights

  • Artikel ini merupakan jawaban atas tuduhan ideologisasi dalam tafsir ahkam

  • This article examines the answer of Abdul Ilāh Ḥūri to the accusation

  • The tendency to ideologize these schools of tafsīr can be understood

Read more

Summary

Pendahuluan

Al-Quran menyimpan potensi yang begitu besar sehingga sejarah mencatat pengaruh al-Quran ketika ia melahirkan sebuah peradaban, yang oleh Nashr Hamid Abu Zayd diistilahkan dengan peradaban teks (ḥaḍārah al-naṣ). Ada anggapan bahwa perbedaan penafsiran ulama’, khususnya ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum semata-mata disebabkan oleh adanya muatan-muatan ideologis, menafsirkan al-Quran dengan akallogikanya sendiri dan fanatisme terhadap mazhab atau aliran tertentu yang dianut oleh seorang mufasir.. Anggapan inilah yang kemudian ingin diluruskan oleh Abdul Ilāh Ḥūri dalam bukunya As bāb Ikhtilāf al-Mufasirīn fī Tafsīr Ᾱyāt al-Aḥkām, dengan merumuskan sebelas faktor yang menyebabkan seorang mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayatayat hukum. Abdul Ilāh Ḥūri menuturkan bahwa alasannya menulis buku (tesis) ini adalah untuk merespon adanya asumsi dari sebagian orang yang beranggapan bahwa perbedaan penafsiran dalam karya-karya tafsir, semata-mata disebabkan adanya kecenderungan dari para mufasir yang ingin menafsirkan al-Quran dengan logikanya sendiri, juga karena fanatisme mazhab atau aliran tertentu yang dianut oleh sang mufasir. Yang pertama digandrungi karena komitmennya pada warisan tradisional (klasik) mencerminkan kesinambungan dan kemurnian ajaran Islam, sementara yang kedua dianggap sangat kondusif dalam memecahkan persoalan-persoalan mendesak dalam kehidupan modern.

86. Lihat juga Ahmad Syukri Saleh “Melacak Metodologi Tafsir al-Qur’an
Kesimpulan
Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call