Abstract

Artikel ini mempertimbangkan Perjamuan Kudus sebagai sebuah ruang perjumpaan yang inklusif bagi para penyandang disabilitas. Meskipun inisiatif Allah tidak ditujukan pada umat tertentu, melainkan seluruh umat, termasuk penyandang disabilitas, para penyandang disabilitas seringkali kurang dilibatkan di dalam Perjamuan Kudus. Mereka seringkali dijadikan objek pengasihan karena memiliki kondisi tertentu pada dirinya, seperti buta, lumpuh, atau keterbelakangan mental. Selain itu, penyandang disabilitas seringkali, oleh masyarakat di budaya tertentu, dilihat sebagai akibat dari dosa orang tua atau komunitasnya. Ketimbang menganggap penyandang disabilitas sebagai gejala dosa, semestinya kita melihat mereka sebagai orang-orang yang memiliki karunia yang dianugerahkan Allah untuk kelangsungan kehidupan mereka (Nancy L. Eiesland). Gereja seringkali kurang peduli dengan persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas, yang disebabkan kurangnya pemahaman tentang peran Kristus dalam kehidupan penyandang disabilitas (Michael S. Beates). Di samping itu, budaya malu dalam keluarga menjadi penyebab mereka malu mengantar anak mereka ke gereja, termasuk mengikuti kelas katekisasi yang dilaksanakan oleh gereja. Berbeda dengan itu, makna inklusivitas dalam Perjamuan Kudus dapat menolong umat untuk memahami bahwa semua orang sama dihadapan Kristus. Setiap orang berhak mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus, dan layak menerima keselamatan, serta menjadi bagian dalam persekutuan bersama Kristus. Tulisan ini mengajak umat untuk diajar dan diberi pemahaman bahwa makna inklusivitas dalam Perjamuan Kudus dapat merangkul setiap orang masuk dalam persekutuan bersama Kristus, serta percaya bahwa mereka diterima dan diselamatkan.

Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call