Abstract
Pregnant marriage due to adultery has consequences that have an impact on the validity of marriage and the civil status of the child born. The discourse on pregnant marriage and adultery continues to be a never-ending conversation. Is it permissible for a man to marry a woman who is pregnant? How about the civil rights of children who are born? On whom was the lineage leaned? Is he entitled to inherit his mother's father's property? Does the husband of the mother have the right to be the guardian of marriage? Different perspectives cause differences in addressing the problem of pregnant marriage and adultery. This study seeks to reveal the problem of pregnant marriage and its implications for children born, from the perspective of the Compilation of Islamic Law as a product of Indonesian jurisprudence, also looking at positive law and studying it in the perspective of Islamic law, then providing analysis and comparisons from these various points of view.
Highlights
Problematika yang sangat jama’ ditemui di masyarakat terkait dengan hukum keluarga Islam secara umum atau perkawinan secara khusus adalah tentang kawin hamil dan implikasinya terhadap hukum keperdataan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
to adultery has consequences that have an impact on the validity of marriage
the husband of the mother have the right to be the guardian of marriage
Summary
Secara etimologi Istilah “kawin hamil” terdiri dari dua kata yaitu : 1. Kawin. yang berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri, dan 2. Wanita hamil yang diakibatkan karena wati syubhat; 5. Untuk jenis pertama yaitu wanita hamil yang sedang bersuami. Maka Islam mengharamkan pernikahan seperti ini, karena tidak dibenarkan seorang istri bersuami lebih dari satu (poliandri). Wanita hamil ini boleh dinikahi oleh laki-laki lain apabila masa iddahnya sudah selesai, yaitu sampai ia melahirkan anaknya. Meskipun Madzhab Imamiyah berpendapat masa iddahnya adalah yang paling panjang diantara waktu melahirkan dan 4 bulan 10 hari. Namun Madzhab empat berpendapat bahwa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan bayinya. Sekalipun hanya beberapa saat dia ditinggal mati oleh suaminya dia sudah boleh menikah lagi sesudah lepas dari kehamilannya. Imam Maliki, Hanafi, dan Imamiyah berpendapat bahwa wanita hamil yang dicampuri secara syubhat, maka iddahnya sampai ia melahirkan.
Talk to us
Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have