Abstract
Latar Belakang: Striktur uretra adalah penyempitan lubang uretra yang disebabkan oleh penumpukan kolagen dan fibroblast oleh berbagai macam sebab. Biasanya fibrosis memanjang melingkupi korpus spongiosum dan mengakibatkan spongiofibrosis. Penanganan kuratif penyakit ini adalah dengan operasi, terdapat beberapa teknik operasi yang dapat digunakan dalam penanganan striktur uretra. Teknik operasi tersebut mempunyai angka keberhasilan dan resiko kekambuhan yang berbeda terhadap pasien. Maka dari itu diperlukan penanganan tepat dalam memilih teknik operasi untuk mendapatkan angka keberhasilan yang tinggi dan menghindari komplikasi.Metode: Penelitian kohort retrospektif pasien striktur uretra posterior parsial yang dilakukan di poli Urologi RSUP. Sanglah, RSU. Balimed, RSU. Dharma Yadnya, RSU. Surya Husadha, Denpasar dan RSU. Ganesha, Gianyar sejak September 2018 – Januari 2019. Didapatkan 34 pasien dengan kriteria inklusi adalah pasien striktur uretra posterior parsial yang menjalani Eksision and Primary Anastomosis (EPA) dan Minimal Invasive Therapy (MIT) pada Januari 2014 – Januari 2019 tanpa riwayat stroke, gangguan tulang belakang dan imobilisasi lama. Perbandingan pada nilai pancaran urin maksimal (Qmax), penggunaan instrumen tambahan berupa Clean Intermiten Catheterization (CIC) dan Penile Perception Scores (PPS) dilakukan oleh peneliti pada saat pasien kontrol pasca operasi.Hasil: Dari    hasil    statistik didapatkan EPA secara bermakna lebih unggul daripada MIT pada Qmax (p < 0,001, beda rerata : 13,1, 95% CI : 7,721 -18,544), penggunaan CIC (p = 0,007) dan skor PPS (p = 0,003).Kesimpulan: EPA memberikan hasil yang lebih unggul daripada MIT pada nilai Qmax, penggunaan alat tambahan berupa CIC dan kepuasan terhadap hasil operasi yang diukur dengan PPS.
Published Version
Talk to us
Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have