Abstract


 Desa adat di Bali sebagaimana kini diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019, memiliki sistem pemerintahan yang sama. Kegiatan yang dilakukan dalam desa adat meliputi bidang adat dan keagamaan, dimana suatu desa adat di Bali memiliki aturan adat tersendiri yang dituangkan dalam awig-awig desa. Pemerintahan desa adat bersifat otonom, dalam arti setiap desa adat mempunyai aturan tesendiri yang hanya berlaku bagi warga desa/ banjar yang bersangkutan. Secara umum aturan-aturan yang tertuang dalam awig-awig sama sekali tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun daerah. Tetapi dalam kenyataannya masih ditemukan awig-awig dibeberapa desa adat yang memuat sanksi yang tidak cocok lagi dengan perkembangan jaman, seperti misalnya masih menerapkan sanksi adat kasepekang yaitu pengucilan dari pergaulan hidup bersama. Pengucilan warga masyarakat ini tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang sampai menutup akses ke luar dari tanah pekarangan rumahnya. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini: (1) pengaturan sanksi dalam hukum adat Bali, dan (2) Faktor yang menjadi alasan diterapkannya sanksi adat kasepekang. Tipe penelitian ini adalah empiris dengan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara terhadap informan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disampaikan bahwa pengaturan sanksi adat tercantum dalam awig-awig setiap desa adat yaitu indik pamidanda (perihal sanksi); Adapun yang menjadi alasan masih diterapkannya sanksi kasepekang dalam kehidupan masyarakat adalah karena yang bersangkutan bersikap keterlaluan dan sulit dibina, disamping jenis sanksi ini tercantum dalam awig-awig sehingga prajuru adat (pemimpin adat) masih mempunyai landasan hukum untuk menerapkannya.

Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call