Abstract

Abstrak: Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum, baik hukum Islâm maupun hukum positif (negara). Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, hukum negara, yakni Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan, yakni usia 19 tahun untuk pria dan usia 16 tahun bagi wanita. Sedangkan hukum Islâm tidak menentukan secara kongkrit batas minimal usia perkawinan. Meghadapi dualisme hukum ini, negara seharusnya mengambil langkah tegas. Jika negara sudah melarang perkawinan di bawah umur,  maka konsekuensinya segala hukum yang bertentangan dengannya harus ditiadakan, sehingga terjadi kepastian hukum. Abstract: Marriage is the bond of family that becomes one of the elements of social and state life. It is regulated in both Islamic and state laws. To concretize the marriage purpose, state law apllies the constitution of Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 that decides minimal age limit of marriage---19 years old for male citizens and 16 years old for the female ones. On the other hand, the Islamic law do not explicitly declare this. State must take a firm action to face this dualism, it must forbid non-state regulation that is in contradiction against state law including the law that allows the marriage beyond the age limit. It is about to guarantee the legal security or rule of law. Kata-kata Kunci: Hukum Islâm, perkawinan di bawah umur, hukum negara, dan negara.

Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call