Abstract

Since long time ago, people of the archipelago have interacted with various foreign nations and it led to the integration of local cultures and migrant cultures and resulting some new cultures. One of them is Potehi Puppet, a puppetry originated from China then developed in Java. The purpose of this study is to find out and describe a face proportion of female character of Potehi Puppet in Gudo, Jombang. The method that used is quantitative research by measuring some female characters of Potehi Puppet using Golden Proportion theory and calculate the mean of the measuring result also interview to the chairman, Toni and puppeteer of Hok Ho An (Potehi group in Gudo), Sonny and direct observation. Golden Proportion theory is not used to judge but used as tool to find out the mean of face proportion measuring. The result showed that there is an acculturation between Chinese and Javanese culture in visual, language, story, character and their characteristics and the artists behind Potehi Puppet. Potehi Puppet characters are distinguished majority by symbols on their clothes and accessories especially female characters. Some characteristics of female Potehi Puppet that Toni’s engravers made which quite different with female Potehi Puppet that made in China. It shows that artists background (Javanese) influences their Potehi Puppet work.

Highlights

  • Interaksi nusantara dengan berbagai bangsa asing yang terjadi sejak dulu menimbulkan akulturasi antara budaya lokal dan budaya pendatang sehingga menghasilkan budaya baru

  • The purpose of this study is to find out and describe a face proportion of female character of Potehi Puppet in Gudo, Jombang

  • Wayang Potehi : Makna Ragam Hias Hewan pada Dekorasi Panggung Pertunjukan

Read more

Summary

Wayang Potehi sebagai Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa di Indonesia

Akulturasi adalah proses multidimensi yang terdiri dari pertemuan antara praktik, nilai dan identifikasi budaya warisan dan budaya penerima. (Schwartz et al, 2010). Salah satu fungsi Wayang Potehi di nusantara adalah menjadi jembatan antara pendatang Tionghoa dan masyarakat lokal (Jawa). Berdasarkan wawancara penulis dengan Toni atau Tok Hok Lay (nama Tionghoa), Hong San Kiong didirikan oleh kakeknya, Tok Su Kwie, yang berimigrasi ke Jawa dari Tiongkok sekitar tahun 1920. Terlihat tidak ada penonton yang berlama-lama menonton pertunjukan Wayang Potehi, namun menurut wawancara penulis kepada Toni (Pimpinan Hok Ho An, juga Pimpinan Kelenteng Hong San Kiong), pementasan yang ditujukan untuk ritual Konghucu tidak memperdulikan kehadiran penonton. Wayang Potehi dalam ritual Konghucu tidak digunakan sebagai sarana ceramah atau dakwah, namun untuk menghibur Dewa dan sarana berdoa kepada Dewa. Berdasarkan wawancara penulis dengan Sonny, pertunjukan Wayang Potehi di Gudo masih menggunakan alat musik klasik Tionghoa, tidak ada kombinasi dengan alat musik lainnya. Musik yang digunakan tidak memiliki aturan baku sehingga bisa menggunakan lagu apa saja

Krakteristik Karakter Wayang Potehi Identifikasi tokoh dalam Wayang
Potehi perempuan setempat dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Toni juga menjelaskan bahwa detail
DAFTAR PUSTAKA
Semiotics Study on Wayang Purwa
Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call