Abstract
This study examines forms of feudalistic ideological hegemony and character resistance against them in literary works set against Balinese sociocultural. This research has a theoretical contribution to the development of science especially about sociological discourse in literature. This study uses a critical descriptive qualitative research design that moves from a functional approach to literary works with Balinese sociocultural background. The primary data sources in this study were the novels of Tarian Bumi (2007) by Oka Rusmini, Incest (2008) by I Wayan Artika, and short story Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar (1969) by Rasta Sindhu. The study concludes that the feudalistic ideological hegemony in Balinese sociocultural literary works are represented by customary matters of adat and the caste system. The characters resistance against them are carried out in various ways ranging from being strong, independent, showing mimicry attitude; masculinity and sexual disorientation, and being reactionary.
Highlights
Abstrak Penelitian ini mengkaji wujud hegemoni ideologi feodalistis dan resistensi tokoh dalam karya sastra berlatar sosiokultural Bali
This study examines forms of feudalistic ideological hegemony and character resistance against them in literary works set against Balinese sociocultural
This study uses a critical descriptive qualitative research design that moves from a functional approach to literary works with Balinese sociocultural background
Summary
Bali kepada laki-laki sebagai pihak purusa tak dapat dipungkiri lagi. Laki-laki tergambarkan sebagai sosok yang selalu tampil sebagai pemenang dalam mobilitas sosial sedangkan perempuan berada dalam posisi belenggu subordinat. Sikap ayah yang “menghapus” Gung De Lila dari silsilah keluarga puri dapat dikatakan sebagai upaya pembersihan terhadap noda-noda perlawanan yang bisa menjadi ancaman bagi eksistensi tradisi puri. Ketegaran dan ketabahan Telaga dapat ditangkap sebagai upaya resistensi seorang Oka Rusmini terhadap tradisi patriarki yang telah menempatkan perempuan Bali berada dalam subordinat sehingga memunculkan peluang lahirnya ketidakadilan. Hukum adat Bali yang mengatur tentang sistem perkawinan menyatakan bahwa perempuan golongan Tri wangsa (Brahmana, Kesatria, dan Wesya) yang telah melakukan jenis perkawinan pratiloma (nyerod) maka secara adat wangsa yang melekat dalam dirinya harus ditinggalkan mengikuti wangsa pihak purusa (Windia, 2015). Sebagai representasi masyarakat tradisi yang memiliki dominasi dalam ruang interelasi puri, tokoh ayah tanpa ragu melakukan intimidasi dengan memamerkan superioritasnya kepada Gung De Lila.
Talk to us
Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have