Abstract

This study aims to discuss social values of political-economic activities in the community that lives in a village located on the state border and to study the narration of the community toward the existence of the state. This research uses a qualitative method, and the data is collected through observation and interview. The research location is in Sungai Limau Village, Sebatik Tengah District, Nunukan Regency, North Kalimantan Province. This paper shows that in Sebatik Island, especially in Sungai Limau Village, there is a change in the environment . There are many banana trees in that village. In the beginning, bananas are considered to have low economic value. But then, there is a creative idea from one of the local people, which is initiating a processed banana. After being processed, bananas turn out to have higher economic value. They see a marketing opportunity in Tawau City, Sabah, Malaysia, across the state border, and it is hard for them to go through the border. For the local people, the state border is no longer considered a ‘sacred area’ and forbidden to enter. Based on the research, it can be concluded that the environment may seem to have limitations in fulfilling people's needs, but then, there is actually hidden potential of natural resources that can be processed to meet their needs.

Highlights

  • Daerah perbatasan negara biasanya diasumsikan sebagai halaman belakang sebuah rumah yang identik dengan terbelakang, kotor, dan tidak teratur

  • This study aims to discuss social values of political-economic activities in the community that lives in a village located on the state border and to study the narration of the community toward the existence of the state

  • This paper shows that in Sebatik Island, especially in Sungai Limau Village, there is a change in the environment

Read more

Summary

INTRODUCTION

Daerah perbatasan negara biasanya diasumsikan sebagai halaman belakang sebuah rumah yang identik dengan terbelakang, kotor, dan tidak teratur. Begitu juga yang terjadi di Provinsi Kalimantan Utara dapat ditemukan potret sebuah desa perbatasan yang identik dengan keterbelakangan. Lokasi penelitian di Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Jalan raya ini membentang sejajar dengan garis perbatasan darat yang membujur dari timur ke barat, yang membelah Pulau Sebatik menjadi wilayah Indonesia dan Malaysia. Penduduk Sebatik pada awalnya adalah suku Tidung dan suku Dayak, karena secara historis Sebatik menjadi wilayah Kesultanan Tidung yang pusat kerajaannya di daerah yang saat ini bernama Kabupaten Tidung kemudian berpindah ke Pulau Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara. Saat ini kedua penduduk asli ini banyak bermukim di Desa Bambangan, Kecamatan Sebatik Barat yang berdekatan dengan pusat pemerintah Kabupaten Nunukan. Datang juga perantau dari Nusa Tengggara Timur yang awalnya menjadi TKI di Malaysia kemudian pulang (sebagian dipulangkan) ke Indonesia. Mereka tidak kembali ke NTT melainkan menyeberang perbatasan dan menetap di bekas hutan yang kemudian mereka babat, kini pemukiman ini bernama Kampung Lourdes, di Desa Sungai Limau, Sebatik Tengah

RESULT
Conclusion
Full Text
Published version (Free)

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call