Abstract

Irâdah merupakan sifat al-wujûdiyyah al-azalîyyah. Penyebutan istilah al-wujûdiyyah terhadap sifat ini karena merekam keberadaan sifat irâdah pada zat Allah. Irâdah merupakan sifat yang berdiri pada zat-Nya, bukan sebagai hal sebagaimana yang dipahami oleh al-Baqillani. Oleh karenanya, ketika zat Allah dapat dilihat pada Hari Kiamat maka sifat itupun turut terlihat ada pada zat-Nya. Dikatakan dengan al-azalîyyah karena sifat irâdah selamanya ada bersama kekekalan zat Allah. Selain itu, sifat irâdah disebut pula dengan sifat yang memberi bekas (sifat al-ta`sir), yaitu memberi efek dalam mengkhususkan dua sisi mumkin. Artinya, sifat ini memberi penetapan pada sisi ada atau pada sisi tiada, panjang atau pendek, buruk atau cantik, dan sebagainya yang berhubungan dengan atribut-atribut mumkin.Lawan (al-did) dari sifat irâdah adalah al-karahah (terpaksa; tergagahi), yaitu terpaksa atau tergagah melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena tidak memiliki kehendak bebas untuk berbuat dan bertindak. Berdasarkan hal ini, maka sesungguhnya tidak ada irâdah bagi zât mumkin al-wujûd, karena kehendaknya dibatasi oleh kehendak zât wâjib al-wujûd. Bukankah, ketika diandaikan mumkin al-wujûd memiliki irâdah, tentu berimplikasi adanya irâdah bebas di luar irâdah zât wâjib al-wujûd. Hal ini menurut Asy`ariyah mustahil terjadi karena akan membawa irâdah Allah terbatasi oleh irâdah lain-Nya. Dengan alur logika teologis ini, maka tidak dapat dikatakan manusia (makhluq) memiliki irâdah bebas, tetapi yang dapat dibenarkan hanyalah ke-tergagahan (takrih) dari irâdah mutlak Tuhan.

Full Text
Paper version not known

Talk to us

Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have

Schedule a call