- Research Article
- 10.32795/ds.v24i2.6859
- Oct 30, 2024
- Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
- Komang Tari Karismayanti
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Pertunjukan Tari Rejang di Pura Desa Sidetapa, Kabupaten Banjar. Pertunjukan Tari Rejang yang merupakan bagian dari rangkaian hari besar Galungan dan Kuningan ini rutin digelar tiga hari setelah hari besar tersebut dan merupakan salah satu bentuk upacara Dewa Yadnya. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) prosesi pertunjukan Tari Rejang di Pura Desa Sidetapa, Kabupaten Banjar; (2) fungsi didaktis pertunjukan Tari Rejang di Pura Desa Sidetapa, Kabupaten Banjar; dan (3) nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam pertunjukan Tari Rejang di Pura Desa Sidetapa, Kabupaten Banjar, Kabupaten Buleleng. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan pemilihan informan secara purposive sampling. Teori yang diterapkan dalam penelitian ini adalah Teori Agama, Fungsionalisme Struktural, Teori Estetika, dan Etno-Pedagogi. Perspektif pendidikan agama Hindu dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai keseimbangan antara nilai tradisional dan tuntutan sosial kontemporer sesuai dengan prinsip-prinsip fungsionalisme struktural. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan studi dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) pertunjukan Tari Rejang di Pura Desa Sidetapa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, diawali dengan persiapan banten, dilanjutkan dengan upacara persembahyangan bersama, kemudian pementasan Tari Rejang, yaitu tarian sakral yang dibawakan oleh para pemuda dan pemudi dengan mengenakan busana adat sakral. Tari sakral ini merupakan pelengkap dari upacara Dewa Yadnya di Pura Desa Sidetapa yang diyakini dapat mendatangkan berkah bagi masyarakat setempat; (2) fungsi didaktis pertunjukan Tari Rejang meliputi fungsi religi, estetika, psikologis, sosiologis, dan pelestarian budaya; dan (3) nilai edukatif yang teridentifikasi yaitu nilai pelestarian religi, estetika, psikologis, sosiologis, dan budaya.
- Research Article
- 10.32795/ds.v24i2.6844
- Oct 30, 2024
- Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
- Raimundus Lulus Sukaryo + 2 more
Tumpeng banyak dipakai dalam kegiatan orang Jawa baik Katolik maupun non Katolik. Akan tetapi, makna simbolis tradisi Tumpeng sering kurang dipahami dan kabur. Umat Katolik non Jawa yang memakai tradisi ini juga kurang memahami, tidak terkecuali umat Katolik Jawa kurang memahami makna dan tujuan tradisi tumpeng, terutama relevansinya dengan perayaan Ekaristi. Penelitian ini bertujuan untuk memahami makna tradisi tumpeng dan relevansi tradisi tumpeng bagi penghayatan perayaan Ekaristi bagi umat di Paroki Maria Ratu Damai Purworejo. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Narasumber dalam penelitian ini adalah umat dan pastor paroki. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Peneliti melakukan pengujian keabsahan data dengan menggunakan triangulasi Teknik pengumpulan data. Upacara tumpengan di Paroki Maria Ratu Damai Purworejo menunjukkan adanya keselarasan dengan perayaan Ekaristi. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya syukur, namun dengan fokus yang berbeda. Tumpengan lebih pada syukur atas berkat duniawi, sedangkan Ekaristi berpusat pada syukur atas karya penyelamatan Kristus.
- Research Article
- 10.32795/ds.v24i2.6681
- Oct 29, 2024
- Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
- Komang Agus Triadi Kiswara + 3 more
Wayang merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang ada di Bali. Sebagai sebuah kesenian wayang tentunya memiliki nilai yang sarat dengan religiusitas. Wayang merupakan kesenian yang dapat dipentaskan sebagai wali, bebali dan balih-balihan. Dalam sejarahnya wayang telah ada sejak jaman dahulu sehingga wayang juga disebut sebagai kesenian klasik. Sebagai sebuah bentuk kesenian wayang juga terkena oleh dampak globalisasi. Hal ini dapat kita lihat dari minimnya masyarakat yang saat ini gemar menonton wayang, terkecuali dalam bentuk wayang sebagai wali. Padahal disisilain wayang juga memiliki nilai yang sangat penting yaitu sebagai media dalam pembentukan karakter bagi generasi muda. Melalui sisipan cerita yang diambil melalui itihasa wayang mencoba menguraikan tentang ajaran-ajaran agama dalam setiap pertunjukannya. Hal inilah yang dilakukan oleh masyarakat di Kec. Banjar Kabupaten Buleleng kendatipun arus globalisasi melanda namun eksistensi pertunjukan wayang yang dibalut dalam tradiisi ngupah wayang masih terjaga. Hal ini dipercayai sebagai bentuk media internalisasi nilai-nilai pendidikan karakter bagi mereka yang menanggap wayang.Dari latar belakang tersebut rumusan masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah 1) Mengapa tradisi ngupah wayang sebagai media pendidikan karakter masih eksis dilaksanakan di Desa Banjar Kecamatan Banjar? 2) Bagaimana bentuk tradisi ngupah wayang sebagai media pendidikan karakter di Desa Banjar Kec. Banjar Kab. Buleleng? 3) Bagaimana implikasi dari tradisi ngupah wayang sebagai media pendidikan karakter di Desa Banjar Kec. Banjar Kabupaten Buleleng? Penelitian yang dilakukan ini menggunakan metode kualitatif. Teori yang dipergunakan dalam membedah rumusan masalah adalah teori eksistensialisme, teori fungsional structural. Hasil penelitian ini adalah pentingnya kehadiran wayang sebagai media internalisasi nilai-nilai pendidikan karakter adalah Atma sradha, tradisi, dan juga suah ujar (mesesangi), bentuk pendidikan karakter tertuang dalam lakon cerita, upakara, dan penglukatan.
- Research Article
- 10.32795/ds.v24i2.6982
- Oct 29, 2024
- Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
- I Made Darsana + 3 more
Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi preferensi wisatawan terhadap empat jenis aktivitas pariwisata yang tergolong dalam konsep NEWA: Nature (alam), Eco (ekowisata), Wellness (kesehatan dan kebugaran), dan Adventure (petualangan). Serta mengungkap bagaimana wisatawan memprioritaskan aktivitas-aktivitas tersebut selama kunjungan mereka, sehingga dapat memberikan wawasan yang mendalam mengenai apa yang paling diminati oleh wisatawan. Manfaat yang diharapkan adalah membantu para pengelola desa wisata, pembuat kebijakan, dan pelaku industri pariwisata dalam merancang dan mengembangkan produk serta layanan wisata yang lebih sesuai dengan preferensi pasar. Jenis penelitian adalah kuantitatif deskriptif dengan metode pengumpulan data survei menggunakan instrumen berupa kuisioner. Responden berjumlah 200 orang yang merupakan wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke tempat-tempat wisata di Bali, antara lain pantai Kuta, Ubud, Tanah lot, dan Kintamani. Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis statistik deskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa mayoritas wisatawan menunjukkan ketertarikan yang kuat terhadap desa wisata, terutama yang berbasis konsep NEWA, hal ini menunjukkan adanya potensi besar untuk pengembangan desa wisata yang mengedepankan elemen alam, keberlanjutan, dan kesehatan, yang sesuai dengan tren global wisata yang semakin peduli pada lingkungan dan kesejahteraan. Aktivitas berbasis Nature menduduki peringkat tertinggi dalam ketertarikan wisatawan, selanjutnya aktivitas NEWA yang diminati oleh wisatawan adalah Adventure, Wellness, dan Eco. Hal ini mencerminkan bahwa wisatawan cenderung lebih tertarik pada pengalaman yang melibatkan interaksi langsung dengan alam, baik melalui eksplorasi lingkungan, petualangan, maupun kegiatan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan di alam terbuka.
- Research Article
- 10.32795/ds.v24i2.6984
- Oct 29, 2024
- Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
- A.a Kade Sri Yudari + 2 more
Leluhur di Bali sangat piawai mengimplementasikan ajaran Veda dalam wujud seni dan ritual yadnya praktis. Satu diantara seni tari sakral yang menyertai ritual adalah tarian sanghyang. Pementasan berbagai tarian pengiring ritual umumnya bermakna mewujudkan hubungan harmonis antara manusia dan alam semesta. Penelitian ini bertujuan menganalisis makna dibalik pementasan tarian Sanghyang Jaran di Pura Dalem Solo dan menerangkan alasan betapa keramatnya hari kajeng kliwon. Metode pengumpulan data menggunakan teknik wawancara didukung studi dokumen dengan analisis secara deskriptif-interpretatif. Rumusan permasalahan dikaji menggunakan teori interaksionisme simbolik dan teori religi. Hasilnya, mengungkap berbagai makna dibalik pementasan tarian sanghyang jaran pada hari kajeng kliwon tidak hanya menjadi keyakinan semata namun secara filosofis-simbolis berkaitan erat dengan upaya penetralisir energi alam dari yang bersifat negative menjadi positif demi tercapai keselarasan, keseimbangan dan keharmonisan makhluk hidup di bumi.
- Research Article
- 10.32795/ds.v24i2.6645
- Oct 27, 2024
- Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
- Komang Tari Karismayanti
This study aims to determine the educational values contained in the Rejang Dance Performance at Pura Desa Sidetapa Village, Banjar District, from the perspective of Hindu Religious Education. The Rejang Dance Performance, part of the Galungan and Kuningan holiday series, is routinely held three days after these holidays and is a form of the Dewa Yadnya ceremony. The issues examined in this study are: (1) the procession of the Rejang Dance performance at Pura Desa Sidetapa Village, Banjar District; (2) the didactic function of the Rejang Dance performance at Pura Desa Sidetapa Village, Banjar District; and (3) the Hindu religious education values contained in the Rejang Dance performance at Pura Desa Sidetapa Village, Banjar District, Buleleng Regency. This research was conducted qualitatively by selecting informants through purposive sampling. The theories applied in this study are Religious Theory, Structural Functionalism, Aesthetic Theory, and Ethno-Pedagogy. Data collection methods included interviews and document studies. The research findings revealed that: (1) the Rejang Dance performance at Pura Desa Sidetapa Village, Banjar District, Buleleng Regency, begins with the preparation of ceremonial offerings (banten), followed by a communal prayer ceremony, and then the performance of the Rejang dance—a sacred dance performed by young men and women wearing traditional sacred costumes. This sacred dance complements the Dewa Yadnya ceremony at Pura Desa Sidetapa Village, which is believed to bring blessings to the local community; (2) the didactic functions of the Rejang Dance performance include religious, aesthetic, psychological, sociological, and cultural preservation functions; and (3) the educational values identified are religious, aesthetic, psychological, sociological, and cultural preservation values.
- Research Article
- 10.32795/ds.v24i2.6005
- Oct 27, 2024
- Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
- Kadek Jaya Sumanggala + 2 more
There are still many people who think that the Buddha is God or a Prophet, Buddhists worship idols. This is due to a lack of a correct understanding of the Buddha's personality. This research aims to describe textual information and answer some questions related to the personality of the Buddha based on the Buddhist holy book, namely Tipi?aka. The research uses a qualitative approach from various Tipitaka literature, journals, and books that are by the topic of discussion. The concept of omnipotence is the origin of the emergence of God. God is understood as the principle of limitation and gives limits to actuality. The Buddha was born in Northern India, lived a life of learning from learned teachers and attained enlightenment by understanding and realizing the Four Noble Truths. Then from then on, he became a Buddha. The Buddha taught the Dhamma to his disciples (gods and humans) and founded a community known as the Sangha. Buddha has qualities that distinguish him from other human beings, namely three knowledge, six superpowers, and ten powers. The concept of God in Buddhism is not personified and Buddhists are more focused on attaining Nibb?na.
- Research Article
- 10.32795/ds.v24i2.6667
- Oct 25, 2024
- Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
- Agus Subandi
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran objek wisata Candi Borobudur dalam masyarakat umat Buddha di Jawa Tengah. Candi Borobudur merupakan perwujudan dari simbol agama Buddha. Pemilihan daerah wisata Candi Borobudur sebagai objek penelitian dikarenakan masyarakat umat Buddha belum memahami peran dari candi Borobudur untuk umat Buddha itu sendiri. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Tehnik keabsahan data menggunakan trianggulasi data. Hasil penelitian ini adalah peran Candi Borobudur bagi umat Buddha di Jawa Tengah antara lain sebagai pusata spiritual dimana setiap tahunnya umat Buddha melaksanakan ritual dan meditasi di candi untuk memperkuat praktik keagamannya, warisan budaya yaitu Borobudur merupakan salah satu wariasn dunia yang menjadi symbol umat Buddha serta mampu memperkuat rasa kebanggaan akan warisan budaya dan pendidikan yaitu Candi Borobudur merupakan lading ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari dengan memahami relief dan arsitertur candi tersebut.
- Research Article
- 10.32795/ds.v24i2.6642
- Oct 25, 2024
- Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
- Adhimas Alifian Yuwono + 2 more
This article aims to show the representation of Mircea Eliade's concept of "sacred" in the tradition of commemorating the first night of Suro in Kotagede, Yogyakarta. This type of research is qualitative with a literature study approach. Data collection was carried out by collecting literary sources in the form of books and journals related to formal objects, namely the thoughts of Mircea Eliade, and material objects, namely the tradition of commemorating the first night of Suro in Kotagede, Yogyakarta. The results of this research are that this tradition occurred because of the hierophony, namely between the month of Suro which is believed to bring both blessings and dangers and the place of implementation, namely the tombs of the Mataram kings. The myth that emerged was in the form of a belief in getting blessings and being protected from danger. Sacred symbols are manifested in the reading of tahlil, eating jenang suran, and burning incense. Meanwhile, the concept of the cosmos occurs at the time the tradition is carried out, because when the tradition takes place, there is a sacred time and a sacred place at the same time.
- Research Article
- 10.32795/ds.v24i2.5946
- Oct 25, 2024
- Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
- Kusuma Putri + 1 more
The Sekaten tradition is a cultural heritage of the Indonesian nation which until now still exists. Sekaten became an event for the birth of the Prophet Muhammad PBUH which was packaged using Javanese culture. The existence of this Sekaten provides space for culture and religion concurrently. In addition, Sekaten is a way the preservation of the cultural values of the Indonesian nation. Ki Hajar Dewantara's thoughts on culture have revealed this Sekaten tradition, therefore this tradition can survive and thrive amid the challenges of modernization. This research is qualitative research with a literature study approach. The methods used are interpretation, heuristics, and philosophical reflection. The results of this study found that Ki Hajar Dewantara’s thoughts were related to a continuous, convergent, and concentric have relevance to the Sekaten tradition tradition which in its implementation was in accordance with Ki Hajar Dewantara's theory. In addition, national culture in its development process also requires efforts to be able to see culture as prospective and ongoing dynamic process. This sekaten becomes a meeting point between cullture and religion to strengthen the integration of culture that cannot be separated.