Abstract
The development of the world of tourism so rapidly from year to year. This implies an inevitable new tourist attraction. This development has its traces from the 20th century as a result of the decline of human existence, the objectification of nature and the breaking of the chain of sacredness with God through tradition. The second decade of the 21st century shows that this disconnection and decadence can be re-woven through tourism. This research will explore the statement: what kind of tourism model can then intertwine humans' disconnection from themselves, nature and God? The result is that in the ecotourism and religious tourism models there is a possibility of a harmonious mutualism symbiosis. Specifically in this study, the authors found that ecotourism (Trigonasantri Garden) and religious tourism objects (Petilasan Linggabuana) have a fundamental component—traditionally—relationship between humans, nature and God.
Highlights
Perkembangan dunia pariwisata demikian pesat dari tahun ke tahun
This development has its traces from the 20th century as a result
The second decade of the 21st century shows that this disconnection and decadence can be rewoven through tourism
Summary
Akibat dari situasi yang bergejolak pada abad 20, tidak hanya berimplikasi pada individu, sosial maupun ekologi, melainkan juga secara radikal menggeser kesadaran manusia dari tradisi, terutama dalam hal ini agama. Terjadinya mobilisasi dalam dimensi pariwisata pada paruh dekade pertama dan kedua abad 21 bisa dipandang sebagai salah satu upaya manusia menjalin ulang relasinya dengan alam. Sejauh mana model-model wisata ini memberikan tidak sekadar anasir, melainkan juga wahana dan sekaligus jalan pada manusia untuk meninjau secara mendalam relasi-relasi dirinya, alam dan Tuhan yang telah sedemikian rupa mengalami dekaden. Secara alamiah perjalanan wisata merupakan pertemuan antara manusia sebagaimana adanya, dan sedianya juga merupakan pertemuan dengan alam (yang menjadi objek) sebagaimana adanya. Dalam apa yang menjadi tradisionalisme Nasr, ditegaskan bahwa perjalanan fisik jika dilakukan sepenuh hati akan menciptakan sebuah perluasan wawasan pada subjek, dan pendalaman batin dalam pertemuan. Perjalanan ini bermakna sair wa suluk, untuk menunjukkan bahwa subjek menempuh perjalanan menghampiri Yang Maha Misteri (Arts & Sciences, 2019)
Talk to us
Join us for a 30 min session where you can share your feedback and ask us any queries you have
More From: Masyarakat Pariwisata : Journal of Community Services in Tourism
Disclaimer: All third-party content on this website/platform is and will remain the property of their respective owners and is provided on "as is" basis without any warranties, express or implied. Use of third-party content does not indicate any affiliation, sponsorship with or endorsement by them. Any references to third-party content is to identify the corresponding services and shall be considered fair use under The CopyrightLaw.